Selasa, 05 Agustus 2008

Toleransi eksteren

Untuk melepas penat akibat rutinitas kantor yang terkadang terasa membosankan dan begitu monoton ada beberapa kegiatan yang sering kami lakukan buat melepaskan kejenuhan. Seperti membuat beberapa acara kumpul ditempat – tempat nongkrong di malam hari, acara bakar – bakar ikan dan lain sebagainya. Namun untuk malam selasa dan malam sabtu merupakan malam yang tak bisa diganggu gutat, kedua malam tersebut merupakan acara rutin yang menyenangkan untuk sekedar melepas keringat dengan bermain bulutangkis. Bukan keprofesionalan yang kami capai, “Just for fun” kata temen – temen semua. Sebagai sebuah perkumpulan kecil tak jarang untuk sekedar uji coba ketangguhan masing – masing tim. Biasanya kami mengundang tim –tim tetangga untuk unjuk kebolehan. Ibarat sebuat rumah tangga “tim kami” adalah sebuah keluarga yang siap bertandang manapun didatangi tamu dari tim manapun. Singkat cerita malam itu kami mengundang sebuah LSM lingkungan yang notobenenya ada beberapa orang bulenya… dalam permainan yang hanya menjalin silaturahmi, kami tidak berniat mencari siapa menang dan siapa kalah. Yang kami cari adalah keakraban dan kenal mengenal saja. Jadi masalah hitung menghitung point terkadang asal –asalan seingatnya wasit saja. Tanpa ada protes dari pemain yang lain. Tibalah saatnya permainan si Bule Belanda jangkung anggaplah si” Stephen cow” ikut menjajal permainan dengan kami – kami, tidak ada perbedaan yang mencolok selain kejangkungan dan memang beda rambut dan warna kulit. Pola permainan kami juga beda – beda tipis “sama-sama gak profesional” namun cerita jadi lain ketika si wasit beda hitungan dengan hitungan point dalam hatinya. Si bule jangkung dengan tegas mengatakan bahwa point yang dia dapat lebih tinggi dari hitungan wasit. (kalo ga salah waktu itu wasit menyebutkan 8/10, sedang si bule menyebutkan bahwa pointnya 9/10) Siwasit dengan cengengesan mengatakan benar point memang segitu. Namun si bule jangkung dengan omongan serius dan cenderung ingin marah mengatakan lain. Maka dengan segera semua forum penonton (ya kami2 juga) sepakat mengikuti kehendak bule… (aklamasi yang cepat karena toleransi dengan orang lain yang notobene different culture) Padahal bila saja yang mengotot adalah orang – orang kita sendiri, bisa jadi siwasit tetap ngotot bahwa point dia yang benar dan hitungan pemain salah. Hal itu bahkan bisa adu mulut jika permainan ini dibarengi dengan masalah taruhan yang sedikit ada angka nominalnya.

Lain cerita, “penulis” sebagai seorang bujangan yang gak betah dihari libur berada dirumah, maka dengan teman – teman yang biasa bersama membuat sebuah kesepakatan untuk membuat acara lain dari biasanya… menginap di Dalam hutan dengan segala perlengkapannya selama hari sabtu dan minggu. Namun ketika salah seorang teman yang beda agama mengatakan bahwa bagaimana kalo hari sabtu saja, karena hari minggu dia dan keluarga ada kebaktian dirumah. Maka dengan aklamasi tak menunggu hitungan menit kami semua menyetujuinya. Padahal dilain cerita sewaktu kami ingin pergi memancing dihari libur yang kebetulan merupakan perayaan isra miraj. Ada salah satu teman yang mengatakan ingin tak ikut memancing karena mau mendengarkan ceramah ustad diacara isra miraj. Maka kami ada yang mengerutu, dan tatap ngotot mengajak mancing dengan berbagai alasan seperti ceramah yang bisa didengar kapan saja, yang gak ramelah gak ada dia, orangnya kurang banyaklah dll..dll yang kadang mengelikan dan tak masuk akal…
Cerita yang lain lagi…. Memang sebagai sebuah rimbawan kita patut bersyukur, dengan seringnya berinteraksi dengan orang – orang luar. Seperti hari itu, pihak pemerintah jerman memberikan bantuan tenaga ahli untuk kemajuan pembangunan kehutanan didaerah kami. Maka untuk merencanakan program yang ada, kami harus rumuskan dalam sebuah workshop kecil yang dia pimpin dan dengan bantuanku untuk menuliskan rumusan yang telah dianggap final didepan acara meeting dipapan whiteboard. Ada kelebihan orang barat yang patut ditiru, yakni semangat menghargai apapun pendapat orang yang terkadang sangat menggelikan dan sedikit konyol. Mereka selalu menerima dan menghargai walau dengan bahasa Indonesia yang belepotan. Penulispun jadi tersadar dengan menghargai tersebut akhirnya mereka dihargai. Bagaimana dari hal yang kita anggap tak sesuai dan gak terlalu penting, pemikiran – pemikiran itu tetap mereka tampung dan tuangkan dipapan white board. Akupun dengan kemampuan yang ada mencoba merangkai pendapat – pendapat yang masuk walaupun terlihat nyeleneh dan menggelikan yang bisa saja hal itu gak perlu dituliskan. Sampailah kami pada suatu final rumusan masalah yang ingin dituangkan dalam program yang ingin dicapai ditiga tahun kedepan. Maka dengan rumusan bahasa indonesia, saya telah tuliskan sebisa mungkin dengan bahasa yang dianggap paling benar namun ada yang sangat tak berkenan dengan pemikirannya, bahwa kata “approve” dalam rumusan tersebut kurang mengena. Padahal telah kami jelaskan bahwa tak perlu memasukkan kata tersebut, kalimat yang ada telah mewakili dari kata “approve” tersebut. Namun dia tetap mengatakan bahwa legalitas kata tersebut tidak ada dan harus dimasukkan. Karena dalam kegiatan tersebut harus ada legalitas yang jelas. Alhasil kamipun mencoba merangkai kata- kata yang dirasa paling pas dengan keinginan si bule. Padahal jika dalam diskusi tersebut sesama orang – orang Indonesia, akan terjadi debat kusir yang berkepanjangan dengan mengunggulkan argument masing – masing tanpa ada yang mau mengalah kalo tidak karena habisnya waktu diskusi.
Itulah sekelumit contoh riil bahwa kita selalu bisa bertoleransi kepada orang diluar lingkungan kita, namun kita tidak bisa mengalah untuk sesuatu yangterkadang remeh didalam komunitas sendiri….