Sabtu, 10 Mei 2008

Anak – anak langit..!!!

Guuubraaaak…..!!!! suara kursi besi tahan banting itu terbanding keatas ubin warna putih asrama caesalpinaceae itu.. Meja dames seolah olah ikut bergetar merasakan benturan antara besi dan ubin, maklum pagi buta seperti ini semua warga kamar caesal masih terlelap.sebagaimana anak –anak asrama yang lain seperi kamar anacardiace, burseraceae maupun dipterocarpaceae. Tak ada satu suara pun terdengar, hanya dengkuran halus dan sesekali dengkuran berat milik nyatoh kompak dan serasi mengimbangi suara ngaji dari loadspeaker mesjid di sebelah asrama. Udara dingin dan hentakan keras tersebut kontan membangunkan kami dengan sigapnya laksana bom atom Hirosima dan Nagasaki jatuh bersamaan didalam kamar asrama itu. Ranjang 2 lantai itu seolah – olah cuman setinggi 5 cm dihadapanku, aku meloncat sigap dengan badan kerempeng dan tak berbaju. Teman – teman yang lain tak ubahnya cecunguk – cecunguk ataupun para tawanan perang akibat kalah perang dilaut baltik antara pasukan inggris dengan prajurit Jerman. Kami diam terpekur menunggu suara yang pasti akan keluar menyusul tragedy dijatuhkannya kursi dari atas meja dames tersebut. Kami benar – benar si pesakitan yang patut dihukum saat itu juga dan kami tak berkutik karena kuasa hukum kami tak punya alibi apapun untuk sekedar membela walau dengan ramuan hukum manapun. Alih – alih mengatakan alibi, untuk mengatakan seucap katapun kami tak mampu. Bisu diam seribu bahasa karena kami sadar kami kesiangan untuk ukuran asrama ini, kami kesiangan karena kami belum siap – siap untuk shalat subuh dan bersiap untuk senam pagi, rutinitas harian kami selama ini selama tinggal dan hidup di asrama…...

Badan sedikit gempal, ada rasa segan yang sangat ketika berbicara kepadanya, rasa kebapakan yang ditampakkan kepada kami membuat kami sangat hormat, tak pernah memandang siapa kami, anak siapa, nakal atau baik semua dianggap sebagai anak… jangan menyangka hari ini engkau dipeluk engkau merupakan anak emasnya, jangan banyak berharap hari ini engkau dimarahi engkau merasa anak didik yang paling dibenci.. semua bak roda berjalan. Lima menit yang lalu engkau dipuji bisa saja menjadi orang yang paling telak mendapat amarah petuahnya. Melambangkan sifat tak pilih kasih dan proporsional dan sangat mengutamakan kedisiplinan para siswa tampak jelas tergambar dari raut wajahnya. Semua itu membuat kami cukup segan bahkan sedikit takut apabila ingin sedikit berbuat ulah dihadapannya. Siapa lagi beliau kalau bukan wakil kepala sekolah sekaligus kepala kesiswaan kami yakni bapak Achmad sirodz… Seperti kejadian waktu pagi ini, kami tak bisa mengelak, karena nyata – nyata akibat begadang semalaman dengan gitar dan ketipung kami tak dapat bangun pagi untuk shalat subuh.
Kami adalah anak – anak langit menurut versi aku sendiri, karena dibawah tempaan langitlah kami mampu berdiri bersama, merasakan suka duka bersama diasrama, dimana canda dan tawa kami produksi ala kami sendiri, dimana rasa jenuh dan kesal kami ratapi bersama. Anak langit yang mencoba menembus langit. Atau setidak – tidaknya anak langit yang ingin mewarnai langit dengan biru bumi, yang akan berusaha memberi warna hijau dunia tandus dan mulai memerah, anak langit yang ingin peduli dengan alam yang dianggap telah diperlakukan sewenang – wenang oleh manusia. Kami cuman segelintir anak langit namun cita – cita kami mulia itu kadang terbersit dalam angan – angan kami semua. Semua cita dan cinta itu kami terima dari orang – orang yang menganggap kami sebagai anak – anaknya, orang – orang seperti bapak achmad sirodz itulah kami ditempa. Kami diajarkan untuk tidak cengeng , kami dibentuk untuk menjadi orang – orang terdepan penyelamat bumi, bukan cuman sesumbar para politikus yang mengharapkan tongkat estafet ditangan kita namun sekedar cuap – cuap kosong tanpa memberikan contoh nyata. Tapi kami benar – benar dididik untuk itu. Bukan didikan kosong, tapi didikan yang benar – benar berasal dari hati, karena selain dari ilmu terapan kami juga diajarkan ilmu hati. Bukan sebagai guru dan murid kami diperlakukan, tapi layaknya anak dan ayah, maupun anak dan ibu. Tak pernah kami mengucapakan pak guru, ataupun bu guru, hal ini terasa janggal dilidah, karena kami juga telah menganggap mereka yang mendidik kami anak – anak langit adalah sebagai orang tua dan sebagai panutan yang benar dan memang bisa dicontoh.
Tak terasa anak – anak langit yang pernah bersama itu kini terpencar dan benar – benar memberi warna pada bumi ini. Tak terasa enam tahun berlalu bersama derasnya waktu, kami anak – anak langit merasakan kerinduan yang sama lagi, kerinduan yang sama saat – saat indah waktu itu, kerinduan yang sama – sama kami impikan untuk dapat terwujud walau hanya sejenak. Kami ingin mengurai cerita lama, menggali kisah usang yang konon akan menjadi kisah klasik untuk masa depan. Satu keinginan sama dari kebulatan tekad walau banyaknya rintangan yang harus dihadapai. Jarak dan waktu memanglah mempengeruhi perjalanan penggalian masa lalu, namun kami punya tekad bahwa anak – anak langit ini pasti akan berkumpul sejenak melapas penatnya hidup, berkumpul sejenak untuk kembali bercanda, berkumpul sejenak untuk bercerita bahwa kita pernah bersama…!!! Dalam satu falsafat Nobis pleseant ante omnea silvae

3 komentar:

GirLy mengatakan...

Hmmmm... anak- anak langit ya

Anonim mengatakan...

mudah mudahan postingannya tambah bagus aja dech biar yang baca tambah banyak

ugiborneo mengatakan...

Biasanya kalo anak-anak yang tinggal di komplek TNI di gelari anak kolong ya (kalo ga salah seh dulu sering denger temenku digelari anak kolong gitu). Ternyata ada juga ya sebutan anak-anak langit, hmn menarik juga. apalagi kalo anak langit ketujuh kali ya hehehehe...