Minggu, 31 Mei 2009

Ragu//

Udara Masihlah segar dan mentari belumlah terlalu menyengat ketika aku buka tas ransel yang terasa berat dan membuat pegal semua persendian pundak dan punggungku. Maklum hampir dua jam yang lalu tas yang mungkin saja berbobot hampir 25 kg nyangklong dengan paksa di pundakku dalam perjalanan ku selama hampir dua jam menyusuri pematang bukit menuju air terjun yang diceritakan kawanku galang. “Air terjun yang indah namun belum terlalu dikenal oleh orang banyak” katanya kepadaku waktu lalu, sehingga sabtu pagi ini aku mengajak dia dengan paksa untuk mencoba mencapai air terjun dimaksud.
Pukul 5 pagi setelah azan subuh berkumandang motor kami segera merayap menyusuri jalanan. Selama hampir satu jam setengah perjalanan, Motor itupun tak dapat kami teruskan karena memang tak ada akses jalan menuju kesana. Segera setelah menitipkan pada warga yang ada di pinggiran hutan kami lanjutkan dengan berjalan kaki. Itu pukul lima tadi. Kini setelah dua jam perjalanan kami berlum juga sampai ketempat tujuan.
“ masih jauhkah?” kataku pada galang dan umar,
galang hanya tersenyum simpul. “So… mungkin 3 jam lagilah kita sampai sana, sekitar jam 12 tepat jika kecepatan perjalanan kita stabil seperti sekarang” lanjutnya. “ namun aku kurang yakin dengan kelelahanmu kita bisa masih mengukur kecepatan jalan kita seperti tadi! Dia menambahkan.
“ yaaah paling tidak mungkin dengan istirahat dan makan dalam perjalanan, sekitar jam satu siang kita sampai..!! umar membuat kesimpulan.
Aku hanya tersenyum,” yaaah sebuah pengorbanan untuk mencari keindahan” kataku dengan kelakar kepada mereka berdua.
Benar saja setelah jalanan setapak yang berkelok – kelok dan terkadang harus menerobos semak plus tersangkut – sangkut dengan duri hutan yang hampir selalu senang dengan tas baju dan kulitku yang mulai memerah tersengat mentari yang telah beranjak siang, serta terkadang harus menyusuri aliran sungai yang selutut ditambah beban berat dan sepatu laras tentaraku yang berat akhirnya tepat pukul 13.30 kami sampai juga di air terjun ini.
Nafasku hampir dipastikan tinggal satu – satu ketika suara air tumpah mulai terdengar. Semua lelah dan penatku seakan hilang ketika aku benar – benar membenamkan diri di dinginnya air disekitar tumpahannya.
Setelah puas dengan berenag – renang kecil serta berfoto ria, kami bertiga segera naik kepermukaan. Segara Setelah menjemur pakaian basah dan mengganti pakain kering Tenda dum segera kami pasang. Jarak tenda dengan air terjun sekitar 50 meter, kami memang sepakat untuk bermalam didalam hutan ini. Kebiasaan lama camping yang telah lama aku tinggalkan ternyata cukup menghiburku. Kayu bakar untuk membuat perapian kami kumpulkan dari sekitarnya yang banyak berserakan dilantai hutan. Peralatan memasak khas kami dan kompor gas mie rebus telor rebus dan nasi putih sisa bekal tadi akhirnya terlahap juga disore yang sepi namun indah itu. Setelah semua siap dan peralatan camping diletakkan rapi dimasing – masing tenda, gitar yang dibela – belain dibawa oleh umar segara merajut dengan indah mengiringi sore menjelang malam.
“Sudah engkau taburi garamkah disekitar tenda tadi galang?” aku bertanya sedikit berteriak ketika aku mengambil handphoneku didalam tenda. Aku teringat kejadian ketika kami lupa menaburi garam disekitar tenda ada ular yang hampir saja menggigitku setahun lalu ketika kami sama – sama pergi berkemah.
“ oh yaa… belum, garam ada di dekat supermi kayaknya” galang menjawab, namun jawaban perintah tentu saja. Segera aku menuju tempat dimaksud dan menaburkan hampir dua bungkus garam kesekeliling tenda kami semua.
“Ooooi jangan banyak – banyak” Umar kaget dan berteriak melihatku membawa dua bungkus garam, “ tenang fren aku bawa tiga bungkus kok he,he,,” kataku. aku mengerti maksud fikirannya sehingga aku segera menjawab keluhannya.

Malam terus beranjak, suara gitar sudah digantikan suara MP3 player dari handponeku, lagu – lagu barat yang syahdu mengiringi diam kami setelah bernyanyi ria menghilangkan semua penat dan lelah. Serta menyegarkan fikiran yang sering berkecamuk dalam diri kami masing – masing.
Tiba – tiba setelah lama dalam diam galang membuka pembicaraan, “ emang apa sih yang engkau fikirkan mir?” tanyanya. Kami tau engkau dalam masalah, makanya kami rela tidak ambil lembur untuk menemanimu camping. Katanya melanjutkan.
“ gak ada apa – apa kok” kataku menjawab, toh kita sudah lama gak camping kan!! Kataku mengelak.
“Ya sudah kalau engkau tak mau cerita” katanya lagi. “ tapi kami tau engkau pasti dalam masalah. Namun yang pasti malam ini kita harus bahagia dengan reuni perkempingan kita lagi” kata galang mencoba melucu. Aku lagi – lagi hanya tersenyum dan mendesah “ yuuupz… tull “ kataku.
Kami bertiga memang telah lama berteman. Aku galang dan umar. Walaupun sekarang kami jarang bertemu karena kesibukanku dan kesibukan mereka. Paling banter dua minggu sekali kami baru bisa nongkrong bareng di cafĂ©. Tidak seperti setahun lalu ketika mereka masih pada menganggur dan hanya aku yang sudah bekerja. Mereka selalu standby di rumahku ketika menjelang sore aku pulang dari kerja. Namun kami seperti kata hati dalam bathin kami masing – masing walaupun tak ada yang memberitahukannya. Siapa yang lagi sedih, siapa yang lagi gembira ataupun ada apa dan bagaimana teman kami seperti sudah pada mengenal. Terlebih kami punya hobby yang sama. Jalan dihutan serta camping.
Memang aku sedang dalam masalah saat ini.Aku lagi bermasalah dengan kekasihku. Namun masalah itu adalah karena kepengecutanku, dan aku tak mau menceritakan kepengecutanku pada kedua karibku saat ini.
Yaaah sebuah kepengecutan atau pecundang atau apapun itu yang mungkin ada didalam fikiran ratna sibidadari pagiku. Kepengecutan itu muncul karena sebab yang jelas bahwa Ratna mengajak aku penyudahi masa pacaran ini menuju ke jenjang yang lebih serius yakni ke pertunangan. Sebuah kata – kata sakral yang aku coba halangi untuk tak terucap akhirnya terucap juga di bibir Bidadari pagiku itu. Bukannya aku tak mencintainya. Namun Bukankah Pernikahan sesuatu yang sulit dan berat? Kataku kepadanya. Apakah aku telah siap secara bathin dan lahir? Itu alasan – alasanku kepadanya.
“ aku belum siap ratna” jawabku pelan ketika dia terus memaksaku dengan jawaban. Aku belum siap untuk membina sebuah keluarga, aku belum siap menjadi seorang ayah, aku belum siap menjadi seorang kepala rumah tangga, aku belum siap mencoba ini aku belum siap. Yah belum siap dari alasan si pengecut “ lanjutku.
“ Bukankah pernikahan itu tidak hanya didasari cinta semata ratna. ? engkau pun tau itu. Pernikahan itu tidak hanya menyatukan kita, tapi lebih jauh menyatukan dua keluarga besar kita. Menyatukan semua perbedaan kita untuk bisa berjalan beriring. Apakah engkau yakin siap untuk itu? Kataku menanyakannya. Dia hanya mengangguk pasti dan menjadi sesuatu yang tak ingin aku lihat.
Aku sungguh iri dengan teman-temanku yang dengan enteng dan ringan menjalani sebuah komitmen. Tanpa memikirkan masak – masak akibat komitmen itu. Yaah memang tak bisa dipungkiri mereka sebagian besar bisa melewatinya dengan baik, namun tak sedikit pula yang harus mengarungi bahtera ruumah tangganya dengan pertengkaran – pertengkaran karena ketidak dewasaan masing – masing. Yang satu mengungguli ego yang lainnya. Karena memang mereka semua masih muda dan tak dengan letupan – letupan emosi yang tinggi.
“Bukan kah itu tanda kedewaan berfikir mas amir”? katanya menyakinkanku. “ mas sudah bisa membedakan mana yang hanya sekedar ego dan mana yang hati nurati. Mas juga bisa menjalani perbedaan – perbedaan untuk dapat berjalan beriringan. Dan mas juga tau banyaknya persamaan kita yang sering kita lalui akhir – akhir ini.” Cerocoh Ratna kembali mengkuliahiku dengan argument – argument yang pasti.
“Memang itu ratna, tapi itu bukankah juga hanya sebuah teori kata – kataku. Apakah engkau juga tak ingat ketika selama dua minggu aku pernah menghilang dari kehidupanmu? Bahkan nomor hapeku pun tak pernah aku aktifkan. Hanya untuk melampiaskan egoku naik gunung yang sering engkau khawatirkan? Bukankah engkau juga ingat pertengkaran – pertengkaran kita karena hal – hal sepele karena aku tak mau kalah dengan egoku?
“Aku ingat semua itu mas!!” Tapi mas juga tau bahwa sebuah hubungan itu perlu kepastian yang jelas. Sebuah hubungan tanpa kepastian apalah artinya. Bukankah mas lebih bisa menyelami perasaan gadis. Aku tau mas tau itu..!! ungkapnya sambil mulai sesenggukan.
“padahal aku tadi berharap tidak seperti ini, aku membayangkannya ada pancaran kebahagiaan ketika aku meminta ini kepada mas amir” Isaknya. Aku yakin dengan mas amir, Tapi kenapa justru mas amir ragu dengan dirinya sendiri” lanjutnya lagi. “ lalu harus sampai kapan aku menuggu?” sebuah statement keras dalam lirih isaknya kepadaku.
“beri aku waktu untuk berfikir ratna, tapi aku harap engkau jangan berfikir aku tak mencintaimu, aku hanya ragu dengan langkah kedepan kita. Karena setelah itu bukankah semua tanggung jawab jelas ada di pundakku?’” aku memberi alasan untuk menyudahi pembicaraan ini.
Itu sepenggal pembicaraan kami, antara aku dan ratna sepulang dari perjalanan kami dari menghadiri sebuah perkawinan kakaknya di rabu malam.
Itulah mengapa malam ini aku ada didalam kesunyian hutan dan ditemani dua kawan karibku serta deburan air terjun lima puluh meter dari tempat dudukku. Aku hanya terpekur menyaksikan riak – riak api yang mulai padam dan kedua temanku telah terlelap di dalam tendanya masing – masing. Aku menyesali ketololan dan ketidak dewasaanku akan suatu keputusan yang menurutku akan berakibat sangat penting dalam hidupku hingga akhir hayatku.
Aku mendesah dengan menyebut nama tuhan, agar aku diberi ketetapan hati. Karena aku yakin ketetapan hati juga merupakan sebuah petunjuk ilahi.

(fiksi)
Negeri diatas angin diawal juni dipenghujung senja nan sepi.


Tidak ada komentar: