Senin, 23 Juni 2008

Selayang pandang Peredaran kayu di Tarakan

Hubungan saling ketergantungan manusia dan hutan dalam suatu interaksi dalam sistem kehidupan merupakan dalil yang tidak bisa disangkal. Hutan Indonesia setelah mendapat beban demikian lama dan berat sebagai penggerak perekonomian bangsa, telah sampai pada titik di mana berakumulasinya masalah sosial, ekonomi, budaya dan ekologi. Jika tekanan terhadap hutan terus terjadi maka hutan akan semakin berkurang dan bencana berupa dampak ekologi akan berantai ke sektor-sektor lain, dan pada gilirannya akan berdampak pada kehidupan masyarakat luas.
Sebagai daerah transit bagi daerah – daeah lainnya di utara Kalimantan timur, keberadaan Kota Tarakan sangat menentukan bagi daerah – daerah sekitarnya. Dengan peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan kayu yang tinggi dengan harga yang murah sangat membantu masyarakat dalam kepentingan pertukangan, hal ini menjadi ironi karena sebagian besar kebutuhan kayu yang ada bukan merupakan kayu yang sah menurut undang – undang.
Hal ini tentunya dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana yang melawan hukum. Kegiatan peredaran atau perdagangan kayu (hasil hutan) untuk pertukangan telah ada sejalan dengan perkembangan Kota Tarakan itu sendiri. Kebutuhan akan kayu semakin hari semakin meningkat sehingga membuka kesempatan bagi pengusaha untuk mengembangkan usaha perdagangan kayu. Peluang tersebut semakin menggiurkan dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang cenderung makin pesat akhir – akhir ini. Ini terbukti dari semakin hari semakin banyak keluar masuknya kayu olahan tanpa disertai dokumen yang sah.

Peredaran atau perdagangan kayu untuk pertukangan maupun pembangunan di Kota Tarakan miliki nilai ekonomis tinggi, berbanding lurus dengan kebutuhan yang semakin meningkat dari tahun ketahun. Proses perijinan yang dianggap terlalu rumit dan berbelit – belit maupun besarnya modal yang harus dikeluarkan untuk membuat sahnya peredaran hasil hutan menjadi penyebab utama maraknya kayu dalam perdagangan illegal. Dalam perjalanannya untuk membuat usaha perdagangan seolah – olah sah maka dalam melaksanakan usahanya para pengusaha menggunakan payung hukum berbentuk Persekutuan Comanditer ( CV ). Usaha dagang (UD) dan banyak pula yang tak memiliki badan hukum. Melihat ketidak pastian hukum tersebut yang secara jelas melanggar dari ketentuan undang – undang perlu dicarikan solusi yang benar dan saling menguntungkan antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat konsumen. Sehingga tidak sampai pada ranah hukum yang berlaku sehingga menyebabkan salah satu pihak terkena hukuman maupun denda.
Di era Otonomi daerah yang memberikan kebebasan para Kepala Daerah untuk mengurus dirinya sendiri ternyata membawa dampak yang besar dalam perkembangan hukum, terutama menyangkut perkembangan hukum didaerah ini. Adanya kewenangan daerah terkadang membuat tumpang tindihnya peraturan antara peraturan pusat dan daerah yang terkadang sangat membingungkan pihak pengusaha sendiri, yang dalam hal ini pengusaha kayu yang beroperasi di Tarakan. Dengan terbitnya beberapa peraturan daerah mengenai perkayuan diharapkan mampu menyelesaikan masalah yang ada. Lantas bagaimanakah nasib peraturan ini akankah efektif dan dipatuhi masyarakat khususnya mereka yang terkena aturan ini ataukah justru sebaliknya?
Perdagangan atau perniagaan adalah kegiatan tukar menukar barang atau jasa atau keduanya. Dapat pula diartikan pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual barang itu ditempat lain atau pada waktu berikutnya dengan maksud memperoleh keuntungan Pada masa awal sebelum uang ditemukan, tukar menukar barang dinamakan barter yaitu menukar barang dengan barang. Pada masa modern perdagangan dilakukan dengan penukaran uang. Setiap barang dinilai dengan sejumlah uang. Pembeli akan menukar barang atau jasa dengan sejumlah uang yang diinginkan penjual.
Sejauh ini definisi dari illegal logging masih banyak dipersoalkan. Undang - undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan sendiri tidak memberikan batasan dari Illegal Logging. Tidak adanya batasan yang jelas tersebut akan menyebabkan kebingunan aparat hukum, masyarakat dan menjadi peluang bagi para pelaku untuk membebaskan diri. Selain persoalan pengertian maka ruang lingkup dari illegal logging juga menjadi persoalan yang belum jelas hingga saat ini.
Walaupun angka penebangan liar yang Persoalan lainnya, berkaitan dengan illegal logging yang juga mendasar adalah masalah kepemilikan lahan hutan. Tidak jelasnya status dan pengakuan atas kepemilikan lahan hutan masyarakat menyebabkan definisi dari illegal logging menjadi semakin kabur dan bahkan bisa dimanfaatkan oleh oknum aparat pemerintah untuk mencari keuntungan sendiri. Perdagangan kayu illegal dapat pula diartikan sebagai kegiatan perniagaan kayu namun tanpa adanya ketentuan yang telah ditetapkan undang – undang. Karena kayu berasal dari hasil hutan dan merupakan hajat hidup orang banyak, tentunya ini merupakan kewenangan Negara untuk mengatur bagi kesejahteraan masyarakat.
Apabila peredaran kayu tidak sesuai dengan kaidah dan ketentuan yang ada tindakan ini tentu saja dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum. Dan dalam hal ini bila kita pandang dalam arti luas perdagangan kayu juga bisa diartikan sebagai suatu kegiatan illegal Logging.pasti sulit didapatkan karena aktifitasnya yang tidak sah, beberapa sumber terpercaya mengidentifikasikan bahwa lebih dari setengah semua kegiatan penebangan liar didunia terjadi diwilayah – wilayah daerah sungai Amazon, Afrika tengah, asia tenggara Rusia dan beberapa Negara –negara Balkan. Penebangan dan peredaran kayu liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar lokal, nasional maupun internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum dan pemutihan kayu yang terjadi diluar kawasan tebangan.
Menurut data dari departemen kehutanan dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan diseluruh Indonesia. Dan sebagaian besar, kerusakan hutan di Indonesia diakibatkan dari system politik dan ekonomi yang mengaggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan dapat dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi.
Praktek Illegal logging dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu. Kerugian – kerugian itu belum terhitung hilangnya keanekaragaman hayati serta jasa – jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan
Sebagai sebuah Kota pulau dan kurang memeliki sumber daya hutan yang memadai untuk mencukupi kebutuhan kayu, maka Kota Tarakan sangat memerlukan pasokan kayu dari daerah sekitarnya. Menurut data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Tarakan, Tarakan yang luasnya ± 25. 175 hektare, memiliki hutan lindung seluas ± 2400 hektare berdarsarkan SK Menteri Pertanian No.175./KPTS/UM / 3 / 1979 tanggal 15 Maret 1979, dan kemudian di lakukan penambahan luas ± 4460 hektare sehingga menjadi ± 6.860 hektare atau 27,35 % dari luas keseluruhan pulau Tarakan.
Luas hutan lindung tersebut masih kurang sesuai dengan ketentuan pasal 18 ayat ( 2 ) Undang–undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa luas hutan lindung dari suatu wilayah Propinsi dan Kabupaten / Kota yaitu 30 % dari luas daratan yang dimiliki. Kawasan diluar hutan lindung terdiri dari kawasan konservasi produksi, hutan konversi, hutan mangrove, hutan wanawisata dan hutan kota yang luasnya mencapai ± 5.649 Hektar atau 24% dari luas pulau Tarakan. Kegiatan peredaran kayu resmi dalam hal ini industri kayu untuk perdagangan sebanyak 5 (lima) perusahaan yang masing – masing memproduksi kayu lapis dan kayu olahan, namun dengan penjualannya berorientasi eksport, hanya beberapa persen untuk kebutuhan lokal.
Melihat keadaan tersebut tersebut tentunya ketersediaan kayu sebagai kebutuhan tak dapat terpenuhi dari Kota Tarakan sendiri. Untuk mencukupi kebutuhan kayu, biasanya masyarakat memanfaatkan usaha – usaha penjualan kayu yang kebanyakan terpusat pada daerah Gunung lingkas sebagai pemenuhan kebutuhannya. Dengan sumber atau asal kayu dari daerah sekitar di kota ini.

Tidak ada komentar: